Selasa, 08 Juli 2008

Minggu, 06 Juli 2008

Dakwah Profesional

Ketika da’wah tidak hanya bergulir di ruang-ruang masjid, namun juga dalam berbagai lembaga profesi dan kantor yang sarat formalisme (aturan baku yang mengikat) dan kecanggihan infrastruktur. Maka persoalan metode da’wah menjadi bahan renungan sangat penting. Salah satu dari metode itu ialah membasiskan seruan dan da’wah tersebut di atas prinsip-prinsip profesionalitas. Sesuatu yang di dalam Islam sering diistilahkan dengan itqon.

Kebutuhan akan profesionalitas dalam mengajak orang ke jalan kebaikan, sesungguhnya tidak hanya monopoli bagi orang-orang kantor. Tetapi setiap pekerjaan, terlebih ajakan ke jalan kebaikan, kepada siapapun ajakan itu disampaikan, kepada siapapun seruan itu disuarakan, semuanya memerlukan pengelolaan yang profesional. Itu sudah menjadi garis jalan (sunnah) yang ditetapkan Allah. Ia bahkan telah menyatu dengan tata kehidupan alam semesta.

Seorang muslim yang bisa tampil profesional dalam lingkup tugasnya, akan punya ruang dan kesempatan lebih untuk menyampaikan ajakannya ke jalan kebaikan. Maka, dapat dikatakan, sebelum mengajak orang lain, kita sendiri harus tampil profesional pada bidang-bidang harian yang menjadi tanggung jawab kita.

Berikut ini beberapa hal mendasaryang merupakan pilarpenting profesionalitas.



1. Kesungguhan Kerja (Performance)

Dalam konteks menjalankan tugas, misalnya, memahami secara mendalam materi penugasan yang kita emban adalah hal yang sangat penting. Sehingga, paling tidak, mesti tertanam dua motivasi dalam diri kita.

Pertama, bahwa pelaksanaan tugas ini terkait dengan prinsip bahwa kita selalu diawasi Allah SWT. Kedua, bahwa tugas itu pada hakekatnya adalah sarana "perkenalan" yang efektif kepada rekan-rekan dan atasan kita. Oleh sebab itu, perlu kiranya diupayakan penambahan ide-ide baru orisinil kita dalam penyelesaian tugas-tugasyang ada. Caranya, dengan lebih mendalami tugas yang diterima dan mencari tambahan referensi lain dalam penyelesaiannya.



2. Komunikasi Kerja (Writing and Reporting Skills)

Komunikasi dan penyampaian gagasan secara tertulis merupakan satu hal yang sangat penting dalam kerja profesi. Kita perlu terbiasa mengemas penyelesaian tugas yang kita jalani dengan laporan yang rapi. Ini membutuhkan kemampuan menulis laporan dan notulensi yang baik. Selain kemampuan menulis juga bermanfaat untuk mengkomunikasikan pekerjaan dan ide kita pada forum-forum seminar ilmiah. Sehingga melalui forum-forum seperti ini kita membangun networking lintas kantor (departemen lain atau kepada pihak swasta), atau lintas disiplin.

Maka membuat daftar (database) pribadi tentang tugas-tugas yang telah kita kerjakan akan memudahkan kita memberikan laporan secara sistematis kepada atasan dan dapat dipakai untuk mengukur prestasi kerja kita pribadi. Dengan langkah ini lah kita akan terbiasa bekerja tertata.



3. Memahami Visi Lembaga (Strategic Thinking)

Untuk dapat membuat ide besar di kantor, kita mesti mengenal apa ide dan tujuan besar keberadaan lembaga kita. Ini dikenal belakangan dengan istilah visi dan misi lembaga. Untuk mengetahui hal ini, kita dapat bertanya kepada keypersons clan membaca laporan-laporan lama yang ditulis para founding fathers institusi tempat kita bekerja, seraya terus mengikuti perkembangan mutakhir yang terkait dengan fungsi strategic institusi itu.

Selain itu, perlu ditemukan posisi unik dan signifikan institusi kita di tengah konstalasi pemerintahan. Pemahaman ini akan menjadi modal bagi kita untuk: pertama, bagi pribadi, menemukan kepastian dan kebanggaan akan tempat kerja. Dan kedua, meningkatkan kemampuan dalam membangun networking.



4. Mengajukan Gagasan (Formal Communication Skills)

Perangkat lain yang juga penting dalam da’wah profesi adalah kemampuan mengajukan gagasan secara oral. Keterampilan ini dimulai dari kemampuan dan kemauan untuk mendengar. Perlu ditemukan momentum-momentum penting di mana kita dapat menyampaikan gagasan-gagasan cerdas untuk meningkatkan prestasi lembaga. Hal lain dalam kaitannya dengan pengajuan gagasan adalah kemampuan presentasi ide. Ketepatan penyampaian masalah, waktu, dan sarana yang digunakan merupakan bekal yang sangat menunjang keberhasilan presentasi.



5. Manajemen Waktu dan Tugas (Time and Tasks Management)

Dalam menerima kesibukan tugas, kita mesti pandai memilah berdasarkan tingkat prioritas. Pada saat sibuk dibutuhkan kecepatan dan ketepatan kerja. Baik sekali bila kita punya teman sejawat yang dapat bahu membahu menyelesaikan tugas-tugas yang mesti dikerjakan.

Namun ada saatnya tugas-tugas itu mesti dikerjakan sendiri. Inilah fase di mana kemampuan kita diuji secara optimum. Bahkan jika kita mampu melalui fase ini, barangkali tidak lama lagi kita akan diberikan amanah kepemimpinan (misalnya pimpinan unit kerja, kelompok kerja atau unit struktural. Kunci terpenting untuk dapat melalui fase ini adalah kemampuan memenej waktu dan tugas dengan baik. Ketekunan dan ketepatan kita masuk dan pulang pada jam kantor sangat penting.



6. Jaringan (Network Creating)

Pemahaman kita akan visi dan misi lembaga ditambah perkenalan kita dengan key persons akan membawa kita pada lingkungan dan forum-forum yang lebih luas. Jaringan komunikasi juga mesti dirintis atas dasar kemampuan individual. Salah satunya adalah dengan memasuki asosiasi profesi yang terkait dengan spesialisasi kita. Asosiasi profesi biasanya mengadakan pertemuan ilmiah atau kongres secara rutin. Forum-forum ini merupakan tempat efektif untuk memperkenalkan keahlian atau spesialisasi kita.

Ada cara lain yang sangat efektif untuk memperkenalkan diri ke masyarakat luas, yaitu dengan menyampaikan gagasan pada media massa yang dibaca oleh orang banyak. Atau dengan menggagas penelitian dan kerja lintas kantor. Intinya adalah kita membangun networking seluas mungkin.

Enam tips itqon di atas dapat dikatakan bersifat individual dalam rangka memperkenal sosok kita. Ini merupakan syarat penting sebelum kita berinteraksi dengan orang lain dan mengajak mereka ke jalan kebaikan, secara personal maupun massal. Bisa dikatakan, menjadi pribadi yang profesional adalah entry pointnya. Setelah itu, masih banyak hal yang mesti dilakukan. (wallahu’alam)

hati vs nash

Suara hati memang sangat penting. Pendapat apapun yang disampaikan orang terhadap suatu perkara, suara hati tetap harus lebih diutamakan. Karena sejatinya, dialah yang paling jernih menentukan langkah yang benar atau salah.

Ada perkataan Imam Nawawi yang menarik dalam hal ini. “Jika engkau menerima hadiah dari seorang yang hartanya lebih banyak berasal dari yang haram, dan hatimu ragu-ragu untuk memakannya karena ketidakjelasan antara halal dan haramnya makanan tersebut. Kemudian ada seorang mufti (pemberi fatwa) memberi fatwa halal dan tidak melarang memakannya, maka status syubhat dari makanan itu tetap tidak hilang dengan fatwa tersebut." Artinya, meninggalkan makanan tersebut lebih utama dan lebih menenangkan hati, ketimbang mengikuti fatwa namun membuat hati gelisah. Begitulah istimewanya hati.

Apa alasannya? Disebutkan dalam kitab Al-Wafi yang menjelaskan makna hadits Rasulullah dan keterangan Imam Nawawi itu, segala sesuatu yang membawa ketidaktenangan hati adalah dosa, meskipun ada fatwa yang menyebutkannya bukan dosa. Karena para mufti mengeluarkan fatwa berdasarkan masalah yang tampak, bukan masalah yang bersifat batin. Batin seseorang – yang mendapatkan cahaya Allah dalam hatinya – lebih diketahui oleh dirinya sendiri, bukan orang lain. (41-Wafi, 195)

Namun perlu diingat, bahwa penjelasan di atas tidak berarti bahwa apapun suara hati harus dituruti. Tidak selamanya ungkapan hati menjadi pembenaran atas segala perkara. Hati bisa dimintakan fatwa dalam permasalahan yang bersifat umum dan mungkin tidak dijelaskan secara detail perbedaan dan batasannya dalam nash-nash al-Qur’an dan sunnah. Dengan kata lain, suara hati tidak boleh mengalahkan petunjuk dalil yang jelas tertera dalam Al-Qur‘an dan sunnah. Misalnya saja dalam kasus bolehnya berbuka puasa bagi musafir dan orang yang sakit, bolehnya mengqasar – memperpendek jumlah raka’at – shalat dalam perjalanan, dan sebagainya, yang berdiri di atas dalil syar’i yang jelas. “Bila ada fatwa yang jelas berlandaskan dalil syar’i maka wajib setiap muslim untuk mengutamakannya, meskipun hal itu tidak membuat hatinya puas," demikian dijelaskan dalam AI-Wafi.

Allah swt berfirman, "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu pikirkan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. An-Nisa: 65)

Ketundukan dan ketaatan menerima ketentuan Allah yang telah jelas, tetap mendapat kedudukan lebih tinggi dari sekedar fatwa hati. Di sini, hatilah yang justeru harus tunduk pada tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sama halnya ketika Rasulullah saw meminta para sahabat mencukur rambut dan memotong hewan kurban setelah perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu, sebagian sahabat berhenti dan enggan melakukan perintah Rasul. Tapi, berkat keikhlasan dan kebersihan hati mereka juga, akhirnya para sahabat menerima perintah Rasulullah dengan lapang dada. Allah berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36). Wallahu a’lam bishawab.

jadilah Diri Sendiri

Ilmu genetika mengajarkan bahwa Anda adalah Anda sendiri, sebagai hasil dari 24 kromosom yang di curakan ayah Anda dan 24 kromosom lagi oleh ibu Anda. Ke-48 kromosom tersebut berisi segala sesuatu yang menentukan warisan siapakah Anda sebenar-nya. Amran Scheinfeld dalam bukunya, You and Heredity, mengatakan, "Dalam setiap kromosom itu terdapat ratusan gene dan dalam kasus tertentu, sebuah gen akan mampu mengubah kehidupan seseorang.”

Kita ini diciptakan dengan sangat mengesankan dan menakjubkan. Setelah ibu dan ayah bertemu dan melakukan pembuahan, hanya ada satu kemungkinan dari 300.000.000.000 yang lahir. Dan, itulah Anda. Dengan kata lain bila Anda mempunyai saudara kandung sebanyak 300.000.000.000, maka tak seorang pun yang sama persis dengan Anda. Amran melanjutkan, “Anda adalah diri sendiri di dunia ini."

Sementara Dale Carnegie mengatakan, "Anda adalah sesuatu yang baru di dunia ini. Tak pernah terjadi sebelumnya, sejak dunia ini diciptakan, seseorang yang benar-benar sama dan sempurna dengan Anda, dan sampai dunia akhirnya nanti berhenti, tak akan lahir lagi seseorang yang sama dengan Anda.”

Dalam Islam, konsep ‘kesendirian’ merupakan acuan utama dari perintah untuk beramal. Artinya, manusia harus memperbanyak amalnya karena kelak ia akan dihisab secara sendiri-sendiri. Orang lain tidak bisa memberi manfaat, hanya amalnya yang menentukan. Memang, kita perlu bekerja sama dengan orang lain, tapi itu hanya alat bantu saja dan bukan alat untuk melimpahkan dosa atau mengurangi tanggung jawab pribadi.

Itu pula isyarat nyata dari Allah, bahwa syetan sekalipun yang hobinya menjerumuskan manusia, kelak tak akan mau bertanggung jawab. “Seperti (bujukan) syetan ketika dia berkata kepada manusia, “Kafirlah kamu,” Maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya kau takut kepada Allah, Tuhan semesta alam.”(QS. Al-Hasyr: 16). Lalu bagaimana akibatnya, “Maka adalah kesudahannya, bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Hasyr: 17).

Semangat menjadi diri sendiri bukan berarti menafikkan keteladanan. Tapi meneladani orang lain tak berarti Anda memindahkan kepribadian orang lain tersebut pada cetakan kepribadian Anda. Sesungguhnya apabila seseorang keluar dari pembawaan wataknya, dan memisahkan dirinya dari tabiat akal dan jiwanya yang tidak ada penyimpangan di dalamnya, merupakan suatu perkara yang akan merusak kehidupan orang tersebut dan menimbulkan goncangan-goncangan dalam tingkah lakunya. Anda mungkin sudah mendengar tentang kisah seekor gagak yang tertarik untuk berjalan di atas tanah, akibatnya ia tidak dapat melangkah sebagaimana yang ia inginkan, dan tidak dapat terbang sebagaimana ia diciptakan.

Sesungguhnya sangat sulit sekali bagi manusia walau bagaimana pun ia berusaha, untuk menjadi yang lain dari dirinya. Dale Carnegie mengisahkan, “Saya bertanya kepada direktur Socony Vacuum Oil Company tentang kesalahan paling besar yang dilakukan oleh orang-orang yang melamar pekerjaan." Ia menjawab, “Kesalahan yang paling besar dari pelamar pekerjaan adalah mereka tidak mau menjadi diri mereka sendiri. Bukannya mereka mengemukakan ide-ide mereka dengan jujur, tetapi kadangkala malahan mencoba memberikan jawaban yang menurut perkiraan mereka kita inginkan. Tentu saja mereka gagal, karena tak seorang pun yang ingin mempunyai karyawan yang tidak jujur dan palsu."

Menjadi diri sendiri artinya kita mengoptimalkan segala potensi diri yang dikaruniakan Allah kepada kita. Bahkan dalam potensi-potensi itu ada berbagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Allah SWT berfirman, ”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Qs. Fushilat: 53).

William James, seorang ahli juga, pernah mengatakan bahwa, “Seandainya kita mengukur diri kita dengan apa yang seharusnya kita berkembang menurut pembawaan kita, maka akan jelaslah bagi kita bahwa kita ini hanya setengah sadar. Atau dengan kata lain, kita hanya menggunakan sebagian kecil dari sumber-sumber kemampuan fisik dan mental kita. Sebenarnya banyak kekuatan lain yang bermacam-macam yang kita miliki, namun kita tak menyadarinya. Masih banyak bermacam-macam kemampuan yang gagal kita manfaatkan."

Dalam tradisi interaksi antara Rasulullah dengan para sahabat, sering kita dapati Rasulullah sengaja memancing kemandirian para sahabat untuk mengemukakan pendapat. Tentunya hanya untuk hal-hal yang belum turun wahyu. Seperti yang terjadi tatkala beliau bermusyawarah dengan para sahabat tentang tawanan perang Badr, maka para sahabat mengemukakan pendapatnya masing-masing sesuai dengan apa yang dianggap benar.

Abu Bakar misalnya, mengemukakan agar tawanan itu diampuni, Rasulullah SAW. Abu Bakar beliau samakan dengan Nabi Ibrahim AS, yang berkata mengenai kaumnya, “Maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barang siapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ibrahim:36)

Sementara Umar, beliau serupakan dengan Nabi Nuh AS, yang telah berkata mengenai kaum-nya, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” (Qs. Nuh: 26-27).

Sangat tampak dalam kisah di atas bahwa kedua sahabat tersebut masing-masing mengemukakan pendapat yang mereka anggap benar, sebagaimana ditunjukan oleh pikirannya yang bebas dan perbedaannya yang khusus dalam memecahkan masalah. Itulah kemandirian. Kemandirian itu bahkan bermuara kepada fitrah manusia yang bersih. Yang tidak mau menjilat-jilat dan mendustai nuraninya sendiri. “(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu…” (Qs. Ar-Ruum: 30)

Yakinlah bahwa iri hati adalah kebodohan. Dan, kepalsuan itu adalah bunuh diri. Mestinya orang rela dan bersyukur atas apa yang dimilikinya sebagaimana Allah telah menentukan baginya. Di atas hamparan dunia yang luas dan begitu subur ini, tak akan ada biji jagung yang tumbuh baik tanpa ditanam dan dipelihara dengan baik pula. Kekuatan yang ada pada seseorang adalah sesuatu yang baru, alamiah dan tak seorang lain pun yang tahu apa yang dapat dilakukannya. Dan, si empunya tak akan menyadari sebelum ia mencobanya.

Semua potensi itu bisa diasah, dengan berbagai macam cara yang terus berkembang, dari model pelatihan hingga disiplin ilmu yang sudah permanen, dari berguru hingga belajar sendiri. Maka, tunggu apalagi. Segera kenali diri, gali potensi, dan jadilah diri kita sendiri yang jujur dan berani bertanggung jawab. Wallahu’alam

Syahwatun Nissa

Saudaraku,

Adalah lumrah, bila seorang musafir harus tahu benar karakter perjalanan yang akan dilaluinya. Salah satu karakter perjalanan itu adalah munculnya fitnah dan ujian. Bila tak disikapi dengan benar, bisa jadi arahnya akan menyimpang.

Kemunculan fitnah merupakan sunnatullah. Maka ia sangat tergantung lemah atau kuatnya iman sang musafir. Bila imannya prima, hubungan dengan Allah kuat, ujian apapun takkan dapat menjerumuskan. Beda halnya ketika iman melemah. Sedikit saja ujian menerpa, dapat membuatnya terjungkal.

Allah telah menakdirkan terjadinya fluktuasi iman. Tinggi dan rendahnya keimanan, adalah fenomena yang pasti dialami setiap orang. "Iman itu bertambah dan berkurang," demikian sabda Rasulullah SAW. Karena itu, satu satunya cara -di samping senantiasa, berusaha memperbarui iman-, adalah harus tetap waspada menghadapi berbagai gejala munculnya fitnah.

Saudaraku,

Syaikh Adil Abdullah al-Laili dalam kitab Musafir fi Qithari Da’wah, menguraikan, salah satu fitnah besar yang menghadang seorang mukmin adalah fitnah syahwat. Fitnah inilah yang pertama kali menerpa ayah kita Adam ‘alaihissalam. Terdorong melayani rongrongan syahwat fisik perut, setelah tertipu iblis, ia memakan buah yang dilarang Allah.

Allah menyebutkan, manusia tercipta dari tanah yang gosong (hama’in masnun). Tanah yang gosong, logikanya memiliki anasir tanah dan api yang menjadikannya gosong. Maka manusia memiliki sifat tanah (ardh), dan sifat api (naar). Syahwat manusia berputar di antara keduanya. Yang tekait dengan materi tanah, akan membawanya condong pada segala hal yang bersifat keduniaan. Keinginan memiliki harta, kekayaan, kecintaan pada anak dan istri, dan sebagainya. Dalam taraf tertentu, potensi syahwat ini dapat menggiring manusia terjerembab dalam perbuatan keji, seperti mencuri atau berzina. Adapun syahwat api (syahwat nariyah), wujudnya gejolak jiwa yang meletupkan kemarahan, rasa sombong, membangkitkan ambisi untuk dihormati, cinta jabatan, dan semisalnya.

Saudaraku,

Fitnah paling dahsyat -menurut Rasulullah-dalam hal syahwat, adalah fitnah yang pertama kali menyesatkan Bani Israil, yakni wanita. Syahwat wanita dapat menjadikan orang terjerumus dalam berbagai perilaku dosa.

Para juru dakwah, bukan tak mungkin terjerumus dalam fitnah wanita. Apalagi hidup di zaman seperti saat ini. Allah juga telah menjelaskan, "Allah menghiasi manusia dengan cinta syahwat pada wanita." (Ali Imran : 14). Rasulullah sendiri mewanti-wanti kepada umatnya tentang hal ini, "Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih berat kepada kaum lelaki dari pada fitnah wanita." (Muttafaq Alaih). Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan, "Fitnah wanita lebih dahsyat ketimbang fitnah anak. Sebab, wanita memiliki dua fitnah, sedangkan anak memiliki satu fitnah. Dua fitnah yang ada pada wanita: Pertama, ia dapat memunculkan rusaknya hubungan antara dua orang bila dalam suatu perkara wanita menuntut suaminya melakukan hal itu. Kedua, fitnah ambisi mengumpulkan harta, dengan cara halal maupun haram. Sedang fitnah anak hanya satu, mendorong orang mengumpulkan harta." (Tafsir Qurthubi, 4/29)

Saudaraku,

Cinta kepada istri itu halal dan harus. Tapi adakalanya kecintaan dan kedekatan itu menjadi penghalang dari perbuatan ma’ruf. Indikasinya, terlalu takut bahaya menimpa keluarga, ingin selalu dekat dengan istri, lebih mengutamakan syahwat dunia dari amal akhirat. Kondisi ini bahkan bisa berlanjut pada pemutusan silaturahim, atau menyakitkan orang tua, enggan berinfaq.

Fitnah ini sering datang sembunyi-sembunyi, nyaris tak terasakan. "Yang pertama kali memakan buah itu adalah Hawa, akibat tipu daya iblis kepadanya. Pertama kali iblis berkata kepada Hawa, karena dialah yang mudah ditipu. Itulah fitnah pertama yang menimpa lakilaki dari wanita. Iblis pun lalu mengatakan, ‘Apa yang menghalangi kalian berdua dari pohon yang akan membawa keabadian ini.’ Iblis datang kepada mereka dari pintu yang mereka sukai. ‘Cintamu pada sesuatu, akan membuatmu buta dan tuli."’ (Tafsir Al-Qurthubi: 1/308)

Renungkanlah,

Iblis lantaran tahu, tipu daya dari sisi wanita lebih efektif dan mudah sampai pada seorang pria. Ketika itu, telinga dapat tertutup dari kebaikan. Mata jadi buta dari yang ma’ruf. Mungkin ada pengalaman hidup yang bisa jadi pelajaran kita. Ketika banyak da’i rela meninggalkan amal shalih, demi istrinya. Melanggar maksiat, karena terlalu banyak mendengarkan apa yang diinginkan istrinya. Atau, mungkin yang lebih rendah dan lebih bahaya dari itu, ada suami yang cenderung merendahkan orang lain hanya karena mendengar apa yang dikatakan istrinya. Akhirnya, seorang suami jadi merasa nikmat membicarakan -dengan istrinya- aib-aib saudaranya, membuang waktu, menghilangkan pahala, dan menambah dosa …., naudzubillah..

Saudaraku,

Seorang da’i, betapapun kuat kepribadiannya, tajam pikirannya, harus waspada dari fitnah wanita. Jauhi segala kondisi yang dapat memunculkan fitnah itu. Hindari segala keadaan yang menjadi prolog untuk dosa dan kesalahan, apapun alasannya. Para ulama telah mengingatkan laki-laki dari wanita, hatta dengan alasan mengajarkannya kalamullah Al- Qur’anul karim. Ulama zuhud, seperti Maimu’ bin Mahran, mengatakan, "Tiga hal yang jangan sampai dirimu melakukannya, antar lain, …. jangan engkau mendatangi wanita meskipun engkau beralasan: "Aku ingin mengajarkannya kitabullah." (Siyar A’lal Nubala, 5/17)

Jaga jarak dengan kerabat yang bukan mahram, betapapun urf atau adat yang berlaku menganggapnya wajar dan biasa saja. Waspadai terhadap fitnah yang datang dari pihak istri, termasuk dalam kerangka kerjasama dakwah. Sebab, laki-laki memang lemah di hadapan wanita. "Dan manusia diciptakan dalam kondisi lemah". Imam al-Qurthubi meriwayatkan bahwa Thawus berkata, "Ayat ini khusus dalam masalah wanita." Juga diriwayatkan dari Ibnu Abas bahwa ia membaca ayat tersebut, lalu kata lemah disana beliau artikan sebagai tidak sabar menghadapi wanita. (Tafsir Qurthubi, 5/149)

Saudaraku,

Kita tak memungkiri janji Rasulullah, "Sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihat. Namun, mendidik wanita agar jadi shalihat, sama beratnya dengan menjauhi fitnah mereka.

Wallahu a’lam bisshawab

Cara Membangun Optimisme

"SUDAHLAH! Jangan ngoyo, kita nggak akan berhasil!" Kata-kata seperti ini mungkin pernah kita dengar pada saat orang atau kelompok orang menyusun rencana dan target kerja.

Ada dua kemungkinan mengapa kata-kata ini keluar dari mulut seseorang. Pertama, rencana yang dibuat memang tak realistis. Kedua, ada orang yang selalu memandang berat setiap masalah. Alasan kedua inilah yang biasa disebut sebagai sikap pesimis.

Sikap pesimis merupakan halangan utama bagi seseorang untuk menerima tantangan. Orang yang telah terjangkiti virus pesimis selalu merasa hidupnya penuh dengan kesulitan. Ia selalu berada dalam ketidakberdayaan menghadapi masa depan.

Penyakit pesimis dapat terbangun akibat proses pendidikan yang kurang baik: bisa dari masa kecil atau akibat peristiwa sesaat yang sangat menyakitkan. Penyebab pertama, biasanya akan lebih sulit diperbaiki, karena pesimisme telah menyatu dalam kepribadian orang tersebut. Mereka memiliki konsep diri yang kurang baik dan memiliki pandangan yang buram terhadap kehidupan dan masa depan nya. Sedang pesimisme yang terjangkit akibat pengalaman pahit, lebih mudah diatasi sejauh orang tersebut dapat menata kembali target dan langkah-langkahnya dalam mencapai target tersebut.

Berikut beberapa-hal yang dapat menumbuhkan perasaan pesimistis dalam diri seseorang:

1. Terlalu sering dibantu. Anak yang tumbuh dalam suasana sering dibantu seringkali tak dapat mengenali kemampuannya. Ia akan sering mengatakan, "Saya tak bisa." Ini terjadi karena anak tak dibiarkan menghadapi kesulitan sedikitpun. Ketika si anak mengeluh tentang sulitnya ‘PR’ dari sekolah, orang tua lantas mengambil alih PR tersebut. Ketika anak menghadapi masalah dengan mainannya, orang tua segera mengatasi masalah tersebut. Dalam jangka panjang, anak ini akan tumbuh sebagai orang yang merasa tak mampu menghadapi kesulitan. Ia akan selalu mengharapkan bantuan orang lain dalam mengatasi masalah-masalahnya. Manakala bantuan itu tak ia peroleh, ia pun merasa tak dapat berbuat apa apa.

2. Terlalu sering dilecehkan. Orang yang dalam masa pertumbuhannya seringkali dilecehkan akan menganggap dirinya menjadi orang terbodoh se-dunia. Keadaan ini tentu membuatnya memandang buram potret diri dan masa depannya. Ia juga akan merasa tak mampu mengatasi persoalannya sendiri.

3. Sikap negatif terhadap kegagalan. Kalau kita lihat dalam keseharian, ada orang yang merasa selalu ditimpa kegagalan. Pada kenyataanya, tak ada seorang pun di dunia ini yang selalu gagal dan tak pernah berhasil. Masalahnya adalah bagaimana ia menyikapi kegagalan. Ada orang yang merasa begitu hancur ketika ditimpa kegagalan. Kegagalan menjadi peristiwa yang amat besar dalam hidupnya, sebab keberhasilan tak pernah ia syukuri sedikitpun. Akibatnya, ia merasa sebagai pecundang, bodoh dan tak punya masa depan.

4. Dampak optimisme berlebihan. Optimisme berlebihan seringkali menyisakan pengalaman pahit dalam diri seseorang. Pengalaman ini membuat orang tak lagi bergairah membicarakan target-target yang telah gagal itu. Orang seperti ini menghadapi trauma untuk membicarakan hal tersebut. Keadaan seperti ini tentu akan menyulitkan bagi orang tersebut untuk bangkit dari kegagalan. Ia akan lebih tertarik untuk membicarakan dan memulai hal-hal baru daripada mengulang kembali pengalaman pahit tersebut.



Pesimisme, baik yang dialami oleh individu maupun kelompok, memang harus diatasi. Namun, dibutuhkan keteguhan dalam membatasi masalah kejiwaan yang satu ini, karena pesimisme terbangun dari pengalaman dan kita tak bisa mengubah hal-hal yang telah terjadi. Ada bebarapa hal yang mungkin dilakukan untuk membangun kembali optimisme kita:

1. Temukan hal-hal positif dari pengalaman masa lalu, sepahit apapun pengalaman itu. Dalam kegagalan, sekalipun masih ada keberhasilan-keberhasilan kecil yang terselip, cobalah temukan keberhasilan itu dan syukuri keberadaannya. Upaya ini paling tidak akan mengobati sebagian dari perasaan hancur yang kita derita. "Tapi bagaimanapun saya telah gagal" Buang jauh-jauh pikiran tersebut, karena pikiran tersebut tak akan membantu kita dalam meraih nikmat Allah berikutnya. Allah hanya akan menambahkan nikmatNya pada orang yang mau mensyukuri pemberianNya meskipun nikmat itu sedikit.

2. Tata kembali target yang ingin kita capai. Jangan terbiasa membuat target yang berlebihan. Kita memang harus optimis, tapi kita perlu juga mengukur kemampuan diri sendiri. Kita juga perlu menelaah lebih jeli cara apa yang mungkin kita lakukan untuk mencapai target tertentu. Cara Irak menghadapi agresor/penjajah AS mungkin dapat dijadikan contoh. Dari awal Irak tak mengatakan akan menang dalam pertempuran. Tapi mereka hanya mengatakan "AS akan menghadapi kesulitan jika berhadapan dengan tentara dan perlawanan rakyat Irak." Irak pun menghitung-hitung dalam medan mana ia dapat memberikan perlawanan yang sengit terhadap para agresor/penjajah tersebut. Mungkin Irak berusaha memenangkan pertempuran di medan opini dunia dan jalur diplomatik. Ini adalah satu contoh bagaimana sebaiknya menetapkan target dengan melihat kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki.

3. Pecah target besar menjadi target-target kecil yang dapat segera dilihat keberhasilannya. Seringkali ada manfaatnya untuk melihat keberhasilan-keberhasilan jangka pendek dari sebuah target jangka panjang. Hal ini akan semakin menumbuhkan semangat dan optimisme dalam diri kita. Tentu kita harus terus mensyukuri apa yang kita peroleh dari capaian target-target kecil tersebut. Jangan pernah terbetik dalam hati, "Ah baru segini, target kita masih jauh." Sikap ini sama sekali tak membangun rasa optimis.

4. Bertawakal kepada Allah. Menyadari adanya satu kekuatan yang dapat menolong kita di saat kita menghadapi rintangan merupakan modal dasar yang cukup ampuh dalam membangun optimisme. Bertawakal tentu harus dilakukan bersamaan dengan upaya kita memperbaiki target dan strategi pencapaiannya.

5. Langkah terakhir kita perlu merubah pandangan kita terhadap diri sendiri dan kegagalan. Kita perlu lebih sayang dan menghargai diri sendiri. Jangan kita terus menerus mengejek diri sendiri. "Aku ini orang bodoh, tak bisa apa apa." Ini bukanlah sikap merendah, tapi merupakan sikap ingkar terhadap kelebihan yang telah Allah karunikan kepada kita. Wallahu’alam.

Kerang

SUATU ketika, seekor anak kerang datang kepada ibunya dengan menangis. Agaknya ia menahan sakit. Sang Ibu tampak bingung. "Mengapa menangis? Ada apa dengan tubuhmu?" Sang ibu tampak ingin memeluk sang anak.

Si kerang kecil kembali menangis. Terdengar suara tertahan, "Ibu, tubuhku dimasuki sebutir pasir. Rasanya sakit sekali." Kerang kecil itu meneruskan, "Aku tak mampu menahannya, pasir itu masuk ke cangkangku. Tolonglah Bu, tolong buka cangkangku. Aku tak mampu membukanya. Rasanya sakit sekali…." Sayang sekali, tampaknya sang Ibu tak dapat memenuhi permintaan sang anak.

Berhari-hari lamanya si kerang kecil menahan sakit. Setiap hari sang kerang menangis. Setiap hari pula ia berdoa agar dapat terlepas dari derita semacam ini. Ia berharap agar pasir itu dapat tercabut, dan terangkat dari dalam tubuhnya. Bertahun-tahun lamanya si kecil menangis, tapi cangkang itu tak juga terbuka. Pasir yang ada di dalamnya pun semakin mengeras, membesar menjadi sebuah batu yang mengkristal.

Tiba-tiba, ada seorang penyelam datang. Ia lalu menjumput kerang itu dari karang, dan membawanya ke permukaan. "Hei lihat, aku temukan kerang mutiara di sini!" teriaknya melengking, memberitahu temannya di atas perahu.

Kedua orang itu segera merapat. Salah seorang di antaranya mengambil pisau, dan mencungkil salah satu cangkang. Tampak cahaya yang berkilau dari dalam. Sebutir mutiara, tampak menempel di sana. Begitu indah, membuat kedua penyelam itu tersenyum. "Terima kasih Tuhan atas berkah ini." Penantian sang kerang kecil berakhir. Pasir yang mulanya tampak menyakitkan itu, kini berubah menjadi mutiara yang indah.

—-

Penantian hidup, dalam kesengsaraan, rasa risau, serba tak cukup mungkin bukan pilihan setiap orang. Banyak orang yang kemudian berputus asa. Tak sedikit pula di antara mereka yang memilih untuk mengutuk Sang Pencipta: "Tuhan tidak adil!"

Penantian bagi sang kerang, untuk mengubah pasir menjadi mutiara bisa jadi hal yang sangat menyiksa. Sang kerang tak tahu, kapan cobaan itu akan berakhir. Dari sana, kita belajar satu hal: untuk mencapai suatu keagungan, perlu waktu dan perlu kesabaran. Untuk menjadi hiasan bagi raja-raja dan bangsawan, sang kerang mutiara butuh malam-malam penuh doa dan tangisan.

Teman, tidakkah kisah ini mengabarkan sesuatu buat kita? Manakah kelak yang menjadi pilihan hidup kita? Menjadi kerang dengan mutiara yang berharga mahal? Atau menjadi tiram yang dijual murah di pasar-pasar? Saya percaya, setiap pilihan akan punya risiko. Tak ada yang tahu memang, sampai kapan cobaan "pasir" yang kita jalani akan menjadi "mutiara" kelak. Tak ada yang tahu, teman. Hanya mereka yang sabar dan gigihlah yang kelak akan tahu jawabannya. Wallahu’alam

Iman, Ibadah dan Mujahadah

PRINSIP KE-3

“Iman yang tulus, ibadah yang benar dan mujahadah akan membuahkan cahaya dan kelezatan yang Allah percikan ke dalam hati siapa saja yang la kehendaki. Akan tetapi ilham, lintasan hati, kasyaf, dan mimpi tidak termasuk dalil-dalil syar’i dan tidak pula diperhitungkan (dianggap), kecuali dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan nash-nashnya.”

Iman yang benar berarti mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan beramal dengan anggota badan. Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm berkata, “Kesepakatan para sahabat, tabi’in, dan generasi sesudah mereka yang kami ketahui, mengatakan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan, dan niat, salah satu di antara ketiganya tidak mencukupi kecuali dengan yang lain.” Imam Ahmad berkata, “Karena itu, menurut ahlusunah ungkapan yang mengatakan bahwa iman adalah ucapan dan perbuat termasuk syiar-syiar Sunah.”

Nash-nash Al-Quran dan hadits yang menunjukkan pengertian di atas sangat banyak dan terkenal. Mereka sepakat bahwa orang yang mengikrarkan keimanan dengan lisannya secara nyata, namun mendustakan dengan hatinya, tidak termasuk mukmin. Orang seperti inilah yang disebut munafik, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya, Dan di antara sebagian manusia ada segolongan yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir." Padahal mereka tidak termasuk orang-orang yang beriman (Al-Baqarah: 8 ). Dalam firman-Nya yang lain Allah menjelaskan bahwa bagi mereka disediakan azab yang lebih berat daripada orang yang jelas-jelas menentang (kufur), dengan memasukkan mereka pada tingkatan neraka yang paling rendah, Sesungguhnya orang-orang munafik berada pada tingkatan yang paling rendah dari neraka (An-Nisa‘: 145).

Para ulama sepakat bahwa pengakuan dengan hati saja tidak cukup untuk merealisasikan makna iman. Karenanya, pengakuan harus diikuti ikrar dengan lisan. Fir’aun dan kaum-nya mengakui kebenaran Musa dan Harun a.s. namun mereka adalah kafir. Allah Swt. berfirman tentang perkataan Musa kepada Fir’aun, Sesungguhnya kamu (Fir’aun) telah mengetahui bahwa tidak ada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu, kecuali Tuhan Yang Memelihara langit dan bumi sebagai bukti yang nyata (Al-Isra’: 102). Orang-orang Ahli Kitab dahulu mengenal dan mengakui Nabi kita Saw., namun mereka tidak beriman kepadanya. Allah berfirman, Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mengenal-nya (Muhammad) sebagaimana mengenal anak-anak mereka sendiri. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka tidak beriman (Al-An’am: 20). Bahkan iblis juga mengenal Allah, tetapi ia tetap menjadi pemimpin orang-orang kafir.

Para ulama sepakat bahwa apabila seorang hamba telah membenarkan dengan hatinya, dan mengikrarkan dengan lisannya, namun menolak untuk beramal, maka ia termasuk orang yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya dan berhak mendapatkan ancaman siksa yang Allah sebutkan dalam kitab suci-Nya dan diberitahukan oleh Rasul-Nya Saw. Selain itu, ia juga mendapat hukuman di dunia.

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahlusunah bahwa dengan melihat rahmat dan janji Allah, iman yang mencakup pembenaran, pernyataan, dan amal menjadikan seseorang masuk surga dan tidak kekal di neraka.

Sedangkan menurut pandangan hukum dunia, iman adalah cukup dengan mengikrarkan dua kalimat syahadat. Siapa yang mengikrarkan keduanya diberlakukanlah hukum dunia kepadanya. la dituntut komitmen dengan konsekuensi-konsekuensinya, mendapat hak-haknya, dan ia tidak dihukum sebagai kafir, kecuali apabila melakukan ucapan maupun perbuatan yang merusak syahadatnya. Prinsip ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw., Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Jika mereka mau mengatakannya, artinya mereka telah menjaga darah dan harta-harta mereka dari (tindakan)ku kecuali dengan haknya (HR. Muslim).

Jika Anda telah memahami ini, maka ketahuilah bahwa iman yang benar adalah mencakup ketiga makna di atas, tanpa terpisah-pisah. Allah Swt. berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, Mereka itulah orang-orang yang benar (Al-Hujurat: 15).

Ibadah yang benar adalah buah dari keimanan yang benar. Para ulama mendefinisikan bahwa ibadah adalah sebuah kata yang mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan dan perbuatan lahir maupun batin. Ibadah adalah tujuan yang dicintai dan diridhai Allah Swt. dan untuk itulah Allah menciptakan makhluk-Nya, Sesungguhnya Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku (Adz-Dzariyat: 56). Untuk tujuan itu pula Allah mengutus rasul-rasul-Nya, Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut itu,” maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya (An-Nahl: 36). Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu,. melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya’: 25) Allah menjadikan ibadah itu sebagai sesuatu yang harus tetap dilakukan oleh Rasul-Nya sampai mati. Allah berfirman, Dan sembahlah Tuhanmu hingga datang al-yaqin (kematian) (Al-Hijr: 99).

Secara keseluruhan, agama termasuk ibadah berdasarkan hadits Jibril yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Hanya, ibadah yang diperintahkan mencakup dua makna sekaligus, yaitu kerendahan dan kecintaan. Ibadah mengandung makna puncak kehinaan dan kecintaan kepada Allah Swt., Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai A-lah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik (At-Taubah: 24).

Jika ibadah yang benar adalah ibadah yang mencakup makna-makna di atas, maka ibadah itu tidak benar dan tidak diterima di sisi Allah apabila belum dilakukan oleh hamba sesuai dengan syariat Allah. Demikian itu karena Allah tidak menerima amal perbuatan maupun ucapan, kecuali yang disyariatkan dan diperintahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Allah Swt. tidak akan menerima ibadah-ibadah baru yang diada-adakan oleh hamba-hamba-Nya. Rasulullah Saw. bersabda, Barangsiapa membuat hal-hal yang baru (yang tidak termasuk) dalam agama kami, maka ia tertolak. Dalam riwayat lain, Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dalam ajaran agama kami, maka ia tertolak. Dalam riwayat yang lain, Sesungguhnya setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah dhalalah (sesat).

Ibadah yang benar tidak mungkin diwujudkan dan dicapai kecuali dengan mujahadatun nafs wal hawa (bersungguh-sungguh mengendalikan diri dan memerangi nafsu). Allah Swt. berfirman, Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar menyertai orang-orang yang berbuat baik (Al-’Ankabut: 69). Orang yang memahami ayat ini secara proporsional, tepat, mengetahui maknanya, dan mengamalkan konsekuensinya, akan memperoleh kebaikan yang sangat banyak.

Rasulullah telah menjelaskan hakikat mujahadah ini dengan sabdanya, Mujahid adalah seseorang yang berjihad melawan diri dan hawa nafsunya (HR. Ahmad). Berjihad melawan diri adalah mengarahkannya kepada perintah Allah dalam segala hal, di antaranya berjihad melawan setan dan musuh.

Langkah pertama dalam mujahadah adalah beriman kepada Allah, mengesakan-Nya, dan mengakui kerasulan Nabi Muhammad Saw. Dalam lingkungan Islam terkadang orang tidak menyadari bahwa masalah ini termasuk dalam bab mujahadah, sehingga ia tidak perlu menyebutnya. Ini jelas kesalahan besar. Sesuatu yang paling besar adalah jika seseorang mampu beralih dari kekafiran menuju keimanan atau menyatakan imannya pada lingkungan yang menentang iman dan melecehkan pemeluknya. Allah berfirman, Dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya (At-Taghabun: 11). Langkah kedua adalah menjalankan kewajiban-kewajiban sesuai dengan waktunya, seperti: shalat, puasa, zakat, haji, nikah, bermuamalah, dan lain-lain. Langkah yang ketiga adalah secara tertib menjalankan ibadah-ibadah sunah, berupa: shalat, sedekah, puasa, haji, doa, zikir, dan membaca Quran. Selanjutnya langkah keempat adalah mengendalikan diri untuk selalu melaksanakan hal-hal yang bersifat azimah (ibadah-ibadah dalam bentuknya yang ideal) serta mentarbiahkannya dengan amal-amal berat yang bermanfaat, seperti: khalwat (menyendiri), diam kecuali dalam hal-hal yang mewajibkan berbicara, begadang malam untuk beribadah, shalat, tilawah, zikir, lapar karena melakukan puasa pada hari-hari yang disunahkan, dan amal-amal lain yang disyariatkan. Langkah kelima adalah perenungan diri, hati, menyingkap penyakit-penyakit hati, dan mengobatinya. Inilah langkah terakhir dalam mujahadah, sekaligus merupakan salah satu hasilnya yang utama. Dua langkah terakhir inilah yang mendominasi pembahasan dan pembicaraan banyak kalangan tentang mujahadah.

Iman yang benar lagi sempurna, ibadah yang sahih sesuai dengan petunjuk syara’, dan mujahadah yang terbingkai dengan kaidah dan ajaran syara’, akan menghasilkan pengaruh besar yang tampak pada diri manusia di dunia dan akhirat. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Syahid Hasan Al-Hanna, "…cahaya dan kenikmatan yang Allah percikan ke dalam hati siapa saja, yang la kehendaki di antara hamba-hamba-Nya." Cahaya (nur) adalah hal yang diisyaratkan dalam firman Allah Swt., Dan apakah orang yang sudah mati kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu ia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan (Al-An’am: 122).

Hakikat dan pengaruh iman telah diungkapkan oleh Sayid Qutub dalam tafsirnya, “Seseorang akan mendapati cahaya ini didalam hatinya, sehingga ia mendapatkan kejelasan dalaim segala urusan, hal, dan kejadian. Mendapatkan kejelasan dalam jiwa, dan niat-niatnya, lintasan-lintasan hatinya, langkah, serta geraknya. Mendapatkan kejelasan dalam segala hal yang terjadi di sekitarnya, baik yang berupa sunatullah, aktivitas-aktivitas manusia, niat, dan langkah-langkah mereka, yang tampak maupun yang tersembunyi. Mendapatkan tafsir berbagai peristiwa dan sejarah dalam jiwa dan akalnya, serta dalam realitas kehidupan di sekitarnya, seakan-akan ia membaca buku. Seseorang yang telah mendapatkan cahaya ini dalam hatinya akan mendapatkan kecemerlangan dalam lintasan-lintasan hati, perasaan, dan kemauannya, sehingga ia pun mendapatkan kenikmatan dan kesejukan dalam hati, suasana, dan masa depannya. Ia akan mendapatkan kelembutan dan kemudahan dalam mengatur segala urusan dan mengeluarkan keputusan, serta dalam menghadapi maupun melewati kejadian. Ia akan mendapatkan ketenangan, kepercayaan, dan keyakinan dalam segala situasi dan kapan pun juga.” ‘"

Cahaya yang mempunyai pengaruh luas dalam diri manusia dan menghasilkan banyak hal menakjubkan yang tampak dalam kehidupan seorang mukmin yang tercerahkan ini, kemungkinan terbentuknya telah ditunjukkan oleh Al-Quran dan Sunah, dinyatakan oleh para ulama, dan didukung oleh kejadian-kejadian yang nyata. Karena itu Imam Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah menyebutkannya dalam prinsip ini sebagai pengakuan akan kebenarannya, sekaligus memberi bingkai syar’i agar orang-orang yang tidak mendapatkan pencerahan dari sumber-sumbernya, karena hanya mendapat bisikan nafsu dan inspirasi setan, tidak melampaui batas.

Pada kesempatan yang sama, beliau tidak mengabaikan hal-hal yang memang seharusnya dikatakan, tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak memahami syariat dan tidak mengetahui dalil-dalil yang benar. Karena itu Imam Syahid mengatakan, “Akan tetapi ilham, lintasan hati, kasyaf, dan mimpi tidak termasuk dalil-dalil syar’i dan tidak pula diperhitungkan (dianggap), kecuali dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan nash-nashnya.”

Agar kebenaran dalam masalah ini menjadi jelas, harus diberi keterangan dan penjelasan. Karena itu, kami coba terangkan:

Pertama, ilham

Ilham adalah pengaruh yang Allah berikan dalam jiwa seseorang sehingga mendorongnya untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. la merupakan salah satu jenis wahyu yang Allah khususkan bagi siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang Ia kehendaki.

Allah Swt. berfirman,

Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (Asy-Syams: 7-8).

Rasulullah Saw. berdoa,

Ya Allah ilhamkanlah kepadaku kebenaran dan lindungilah akim dari keburukan jiwaku (HR. Turmudzi).

Ilham lebih umum daripada tahdits karena ilham berlaku umum bagi orang-orang yang beriman sesuai dengan tingkat imannya. Setiap mukmin mendapatkan ilham kebenaran dari Allah Swt. sesuai dengan tingkat keimanannya. Adapun tahdits, Rasulullah Saw. telah menjelaskan dalam sabdanya, ”Jika ada orang yang muhadats[1] dari umatku, maka Umar-lah orangnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bentuk ilham yang banyak dikenal, antara lain berupa pesan yang diberikan ke dalam hati seorang mukmin, melalui pembicaraan malaikat dengan ruhnya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda, Sesungguhnya malaikat mempunyai hasrat di hati anak Adam, demikian juga setan. Hasrat malaikat berupa ajakan untuk kebaikan dan membenarkan ancaman Allah Swt., sedangkan hasrat setan adalah ajakan untuk melakukan kejahatan dan mendustakan janji Allah, – kemudian beliau membaca firman Allah – "Setan itu menjanjikan kefaqiran kepadamu dan memerintahkan perbuatan yang keji, sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan anugerah kepadamu.” (HR. Turmudzi).

Allah Swt. berfirman, (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, “ Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.” (Al-Anfal: 12).

Sebebagian ulama menafsirkan ayat ini dengan "Wahai malaikat kuatkanlah hati orang-orang yanng beriman dan berilah kabar gembira kepada mereka dengan kemenangan.” Sebagian yang lain mengatakan, “Hadirlah wahai malaikat bersama orang-orang mukmin di medan perang.” Kedua penafsiran itu sama-sama benar, karena malaikat memang hadir bersama orang-orang mukmin di medan perang dan meneguhkan hati

mereka. Termasuk kategori pesan ini adalah nasihat yang diberikan oleh Allah Swt. kepada hati hamba-hambanya yang mukmin, sebagaimana yang diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan Imam Ahmad dari sahabat Nawwas bin Sam’an dari Nabi Muhammad Saw. Bahwa beliau bersabda, Sesungguhnya Allah membuat perumpamaan berupa sebuah jalan yang lurus. Pada kedua sisi jalan tersebut terdapat dua dinding yang masing-masing mempunyai pintu yang terbuka. Pada masing-masing pintu terdapat gorden, ada penyeru di ujung jalan, dan ada pula penyeru di atas jalan. Jalan yang lurus adalah Islam, kedua dindingnya adalah batas-batas Allah, dan pintu-pintu yang terbuka adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Tidak ada

seorang pun yang melanggar suatu batas di antara batas-batas Allah, kecuali bila ia menyingkap gorden itu. Penyeru yang berada pada ujung jalan adalah Kitabullah, sedangkan penyeru yang berada di atas jalan adalah penasihat dari Allah dalam hati orang yang beriman. Penasihat yang ada dalam hati orang-orang yang beriman itulah ilham Ilahi dengan perantaraan malaikat.

Termasuk ilham adalah firasat, yaitu cahaya yang Allah berikan ke dalam untuk membedakan antara haq dan batil dan antara yang jujur dan dusta. Allah berfirman, Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi mutawasimin (orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda) (Al-Hijr: 75). Menurut Mujahid r.a. yang dimaksud mutawasimin adalah mutafarisin (orang-orang yang diberi firasat). Imam Turmudzi meriwayatkan dari Abi Sa’id r.a. dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda, Takutlah kalian kepada firasat orang mukmin, karena ia memandang dengan cahaya Allah Azza wa Jalla. Kemudian beliau membaca, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi mutawasimin (orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda)." (Al-Hijr: 75).

Firasat ada tiga macam:

1. Firasat imaniyah, yaitu firasat orang-orang yang beriman. Jenis ini selalu tegak di atas kebenaran.

2. Firasat riyadhiyah, ialah firasat yang dihasilkan melalui lapar, begadang, dan menyendiri. Demikan itu terjadi karena jiwa terbebas dari penghalang-penghalangnya, maka firasat dan kasyaf akan didapatkan sesuai dengan tingkat kebebasan-nya dari penghalang tersebut.

3. Firasat khalqiyah, ialah firasat yang para dokter menulis tentangnya. Mereka mencoba menghubungkan antara sifat-sifat fisik dengan sifat-sifat psikis karena memang ada kaitan yang dikehendaki hikmahnya oleh Allah.

Dua jenis firasat yang terakhir ini bisa dimiliki oleh siapa saja, baik mukmin maupun kafir, tidak menunjukkan keiman-an dan kewalian, serta tidak menyingkap tentang kebenaran yang bermanfaat maupun jalan yang lurus. ‘”

Kedua, khawathir

Khawathir jamak khatir yaitu sesuatu yang terlintas dalam hati berupa rencana atau perintah. Apabila baik, maka itu merupakan bagian dari cahaya dan pengaruh iman, serta petunjuk adanya taufik dari Allah. Namun apabila sebaliknya, maka ia merupakan tipu daya dan bisikan setan, sebagaimana disebutkan dalam hadits sujud sahwi, Hingga setan melintas antara seseorang dan hatinya, dan dalam hadits Ibnu Abbas r.a., Ketika Nabi berdiri untuk melaksanakan shalat, tiba-tiba melintas suatu lintasan dalam hatinya. Maka orang-orang munafik pun mengomentari bahwa beliau mempunyai dua hati.

Ketiga, kasyaf

Imam 1bnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Mukasyafah yang benar adalah ilmu-ilmu yang Allah munculkan di hati hamba-Nya. Dengan ilmu itu Allah Swt. memperlihatkan kepadanya hal-hal yang tersembunyi bagi orang lain. Terkadang Allah Swt. membantu seseorang untuk memilikinya, tapi terkadang menghalanginya dengan membuatnya lupa dan menyembunyikannya dari orang itu dengan kabut yang membuat hatinya keras, itulah setipis-tipis penghalang. Dengan mendung yang lebih tebal dari kabut, atau dengan tutup yang menjadi penghalang paling tebal.”

Penghalang paling tipis terkadang dialami oleh para nabi a.s. Sebagaimana sabda Nabi Saw., Sesungguhnya hatiku berkabut dan sesungguhnya aku beristigfar kepada Allah sebanyak seratus kali dalam sehari (HR. Muslim).

Penghalang yang berupa mendung terjadi pada orang-orang mukmin. Sedangkan penghalang yang berupa tutup terjadi pada orang-orang yang didominasi oleh kemalangan. Allah Swt. berfirman, Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka (Al-Muthafifin: 14). Ibnu Abbas dan lainnya mengatakan bahwa ia adalah dosa dan dosa menutupi hati hingga menjadi tertutup seluruhnya.

Kasyaf yang benar adalah jika seorang Muslim mengetahui kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw. dan diturunkan dalam kitab-kitab suci secara jelas dalam hatinya. Kemudian ia dedikasikan kehendak hatinya kepadanya dan senantiasa bersamanya dalam segala kondisi. Inilah kesimpulan yang benar, bila tidak demikian maka itu adalah tipuan yang buruk. Demikian itu dalam hal-hal yang berkaitan dengan mukasyafat hati, salah satu sumber kasyaf ketika hati jernih, berjalan di atas jalan yang lurus, serta menjauhi bid’ah dan kesesatan. Adapun kasyaf penglihatan dan pendengaran, yang dimaksud oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam prinsip ini, Ibnu Qayyim rahimahullah telah mengklasifikasikannya menjadi tiga jenis: kasyaf rahmani, yang khusus bagi orang-orang yag beriman, kasyaf nafsani, dan kasyaf syaithani, yang dijelaskan dalam pernyataannya, “Adapun kasyaf juz’i yaitu yang dapat dimiliki oleh orang-orang mukmin dan orang-orang kafir, juga oleh orang-orang baik maupun orang-orang jahat, seperti: mengetahui apa yang ada di rumah seseorang, tongkat di tangannya, di bawah pakaiannya, atau jenis kelamin janin yang ada dalam kandungan istrinya. Adapun yang tidak terlihat oleh seorang hamba berupa hal-hal yang sangat jauh, terkadang berasal dari setan atau dari dirinya sendiri. Karena itulah, maka hal itu bisa terjadi pada orang-orang kafir, seperti orang-orang yang melakukan kemaksiatan, penyembah api, dan salib.

Ibnu Shayyad dapat mengetahui apa yang disembunyikan oleh Nabi, kemudian Rasulullah Saw. berkata kepadanya, "Engkau ini hanyalah sebagian dari teman para dukun." Nabi menerangkan bahwa kasyaf yang dimilikinya termasuk kasyaf perdukunan dan hal itu mungkin. Demikian pula Musailamah Al-Kadzab, betapapun kekafiran yang dilakukannya, ia mampu menceritakan kepada para pengikutnya tentang apa yang dilakukan oleh salah seorang dari mereka di rumahnya, dan apa yang dikatakannya kepada istrinya. Setanlah yang memberikan kabar kepadanya, untuk menyesatkan manusia. Demikian pula Al-Aswad Al-Unsi dan Harits Al-Mutanabbi yang memberontak pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, serta orang-orang semisal mereka yang hanya diketahui oleh Allah. Kita telah mengetahui dan orang-orang juga telah menyaksikan kasyaf dari para pendeta penyembah salib.

Contoh kasyaf rahmani adalah kasyaf dari Abu Bakar r.a., ketika beliau berkata kepada Aisyah r.a. bahwa sesungguhnya istrinya mengandung janin perempuan. Kasyaf Umar r.a. ketika beliau berkata, “Wahai pasukan naiklah ke gunung.” Kasyaf-kasyaf ini termasuk kasyaf para wali Allah.

Kesimpulannya, Said Hawwa menjelaskan bahwa kasyaf adalah sesuatu yang mungkin terjadi, orang-orang yang melakukan perjalanan spiritual menuju Allah dapat mencapainya. Ia merupakan salah satu wujud anugerah Allah Swt. sekaligus sebagai ujian dari-Nya. Tapi kita semua komitmen dengan nash, bukan dengan kasyaf. Kasyaf tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk menetapkan keyakinan baru dan tidak pula untuk menambah nash-nash yang ada. Umat tidak diwajibkan beribadah dengannya. Mereka tidak harus mempercayai pemiliknya, walaupun ia termasuk orang yang jujur. Hal itu karena hatinya tidak ma’shum berkaitan dengan masalah gaib. Selain itu, kemungkinan terjadi ilusi juga sangat besar. Karena kasyaf terkadang menjadi ujian bagi seseorang atau sekelompok orang, maka ia kadang menurunkan derajatnya.

Dengan batas-batas ini, jelaslah kedudukan kasyaf dalam syariat Allah, dan kita memahami maksud dari ungkapan Imam Syahid Al-Banna rahimahullah bahwa ia tidak termasuk dalil-dalil hukum syar’i dan tidak diperhitungkan (dianggap), kecuali dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan nash-nashnya.

Keempat, mimpi-mimpi dalam tidur

Jika benar, ia merupakan salah satu pengaruh iman dan tingkatan hidayah. la termasuk bagian dari kenabian, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda, Mimpi yang baik adalah bagian dari empat puluh enam bagian nubuwah (Shahih Bukhari dan Muslim).

Mimpi adalah permulaan wahyu. Kebenarannya tergantung kepada kejujuran orang yang bermimpi. Orang yang paling benar mimpinya adalah orang yang paling jujur perkataannya. Ketika zaman semakin dekat, hampir tidak ada kesalahan dalam mimpi yang baik, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw, Demikian itu karena semakin jauhnya masa dari kenabian dan pengaruhnya. Karena itu, orang-orang mukmin mengambil ganti dengan mimpi. Adapun pada masa kuatnya cahaya kenabian, dengan cahayanya yang terang, menjadikan mereka tidak membutuhkan mimpi-mimpi itu. Nabi Saw. bersabda, Tidak ada lagi bagian dari nubuwah selain mubasyirat. Ada yang bertanya, ”Apa itu mubasyirat, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab “Ia adalah mimpi baik yang dialami sendiri oleh seorang Muslim atau diimpikan oleh orang lain." (HR. Bukhari).

Jika mimpi-mimpi kaum Muslimin sama, maka tidak dapat didustakan. Nabi telah mengatakan kepada para sahabatnya ketika mereka bermimpi melihat lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Beliau Saw. bersabda, Saya melihat mimpi kalian sudah saling memperkuat bahwa lailatul qadar terjadi pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Karena itu, barangsiapa di antara kalian yang hendak mencari-carinya maka lakukanlah pada sepuluh hari terakhir (HR. Bukhari).

Sebagaimana kasyaf, mimpi juga terbagi menjadi tiga bagian: rahmani, nafsani, dan syaithani. Nabi Saw. bersabda, Mimpi ada tiga, yaitu mimpi dari Allah, mimpi penyedihan setan, dan mimpi dengan melihat kembali apa yang pernah terjadi pada dirinya saat ia terjaga.

Mimpi yang menjadi sebab datangnya petunjuk adalah mimpi yang khususnya datang dari Allah. Mimpi para nabi adalah wahyu, karena mimpi ini terpelihara dari setan. Inilah yang diyakini oleh umat. Karena itulah maka nabiyullah Ibrahim a.s. melaksanakan perintah menyembelih putranya, Ismail berdasarkan mimpi itu.

Adapun mimpi selain para nabi, disesuaikan dengan wahyu yang jelas. Jika sesuai, bisa diterima. Jika tidak, tidak boleh diamalkan. Apabila ditanyakan, "Bagaimana pendapat kalian tentang mimpi yang baik atau mimpi-mimpi orang banyak yang sepakat atas sesuatu?” Kami menjawab, “Jika memang demikian, maka tidak mungkin menyalahi wahyu, bahkan pasti sesuai dengannya, untuk menyadarkannya atau menyadarkan akan masuknya suatu permasalahan khusus dalam hukum wahyu, sedangkan orang yang bermimpi tidak menyadari bahwa hal itu termasuk di dalamnya, sehingga dengan mimpi itu ia menjadi tersadarkan.”’

Selanjutnya kaum Muslimin sepakat bahwa mimpi bagi selain para nabi tidak boleh dijadikan sebagai sumber hukum dan perundang-undangan. Jika mereka bertanya, “Apabila seseorang bermimpi melihat Nabi Saw. padahal setan tidak mungkin menyerupainya, kemudian beliau Saw. memerintahkan suatu hal yang bertentangan dengan syariat’?” Kita katakan kepadanya, “Engkau sedang berangan-angan.” Ia tidak boleh bertindak berdasar mimpinya itu, apalagi mimpi-mimpi yang lain?

Barangsiapa menginginkan mimpi yang benar, maka hendaklah ia berusaha untuk selalu jujur, makan yang halal, memperhatikan perintah dan larangan, tidur dalam keadaan suci sepenuhnya, menghadap kiblat, dan zikir kepada Allah hingga tertidur. Jika demikian, insya Allah mimpinya tidak berdusta.

Mimpi yang paling benar adalah mimpi pada waktu sahur, karena saat itu merupakan waktu turunnya Allah ke langit dunia, saat dekatnya rahmat dan ampunan, serta diamnya setan-setan. Kebalikannya adalah mimpi pada sepertiga malam yang pertama, saat setan-setan dan ruh-ruh syaithaniyah bergentayangan. Ubadah bin Shamit r.a. berkata, “Mimpi seorang mukmin adalah kalam Allah kepada hamba-Nya pada waktu tidur.”

Kesimpulannya, ilham, khawathir, kasyaf, dan mimpi merupakan pengaruh cahaya iman, jika keluar dari seorang mukmin yang jujur. Banyak bukti-bukti lahiriah dan pengalaman batin yang menguatkan akan hal itu. Ia adalah karamah dari Allah bagi mereka, di samping juga merupakan ujian untuk menguji keteguhan dan konsistensi dalam keimanan.

Meskipun demikian, sebagaimana dikatakan oleh Imam. Syahid Al-Banna rahimahullah, ia bukan termasuk dalil-dalil hukum syar’i, karena dalil-dalil hukum syar’i disyaratkan bahwa sumbernya ma’shum, sementara di sini tidak ada ke-ma’shum-an, karena tidak ada ke-ma’shum-an yang dapat ter-bukti secara syar’i berdasarkan firman Allah dan sabda Rasul Saw., atau berdasarkan ijmak kaum Muslimin. Padahal di sini tidak ada sedikit pun dari semua itu.

Meskipun demikian, apabila karamah-karamah itu berasal dari Allah Swt. maka tidak mungkin bertentangan dengan syariat. Adapun jika berasal dari diri sendiri dan setan, maka ia tidak dapat dipercaya, karena sedikit sekali yang sesuai dengan syariat atau konsisten pada masalah yang diridhai. Imam Syahid mengatakan, “Semua karamah itu tidak dianggap, kecuali dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan nash-nash-nya.” Wallahu a’lam.

Kenikmatan yang lahir dari keimanan dan kesahihan ibadah, serta mujahadah yang baik, adalah kenikmatan hakiki yang dirasakan oleh jiwa orang yang beriman, sebagaimana lidah merasakan lezatnya makanan, seperti disebutkan dalam banyak hadits-hadits sahih, di antaranya sabda Rasulullah Saw., Akan merasakan lezatnya iman orang yang ridha bahwa Allah sebagai Tuhan-nya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad Saw. sebagai rasulnya (HR. Muslim). Tiga hal, barangsiapa seluruhnya ada dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan nikmatnya iman.

Dalam riwayat lain, akan merasakan nikmatnya iman, orang yang lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya daripada selain keduanya, jika seorang mencintai sahabatnya, ia tidak mencintai-nya kecuali karena Allah Swt., dan tidak mau kembali kepada kekafiran setelah Allah Swt. menyelamatkan diri darinya, sebagaimana ia tidak mau dimasukkan dalam neraka.

Para ulama berkata, “Makna kenikmatan iman adalah merasa nikmat dalam melakukan ketaatan dan memikul beban dalam mencari keridhaan Allah dan Rasul-Nya, lebih mengutamakan hal itu daripada tujuan-tujuan duniawi, kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya Swt. dengan menjalankan ketaatan kepadanya dan meninggalkan kedurhakaan terhadap-Nya, di samping juga mencintai Rasulullah Saw.”

Menurut saya, semua itu tidak mungkin dicapai kecuali oleh orang yang hatinya telah bersenyawa dengan iman, sehingga kenikmatan iman mampu mendominasi hatinya. Karena itu, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa iman memberikan kenikmatan yang berkaitan dengan rasa dan selera. Keraguan dan syubhat tidak akan hilang dari hati, kecuali apabila seseorang telah mencapai keadaan seperti ini. Iman benar-benar telah bersenyawa dengan hatinya, hingga ia merasakan kelezatannya dan menemukan kenikmatannya.”’

Rasa inilah yang dijadikan Heraclius sebagai dalil akan benarnya kenabian, saat ia bertanya kepada Abu Sufyan, "Adakah seorang di antara pengikut Muhammad yang murtad karena marah kepada agamanya?” “Tidak," jawab Abu Sufyan. Heraclius pun berkomentar, “Demikianlah iman, ketika ia telah bersenyawa dengan keceriaan hati."

Kenikmatan hakiki yang selalu bergelora inilah yang telah dibuktikan oleh para sahabat r.a., salafusaleh, dan orang-orang yang melakukan interaksi yang benar dengan Allah Swt. serta dengan agama-Nya yang terakhir. Jika kami hendak memuat contoh-contohnya, tentu akan menghabiskan buku berjilid-jilid. Kami cukupkan dengan tiga contoh saja dari tiga orang sahabat yang telah mengungkapkan hakikat kenikmatan itu, sebab berbagai pengorbanan yang telah mereka lakukan. Mereka itu adalah:

1. Bilal bin Rabah r.a.

Ketika disiksa diterik panas matahari untuk memaksanya kafir, sementara ia hanya bisa mengucap, “Ahad, Ahad.” Ia campur pahitnya siksaan dengan manisnya iman. Ia telah bersenyawa dengan kenikmatan iman. Demikian juga saat menjelang kematiannya, ketika keluarganya mengatakan alangkah susahnya, tapi beliau sendiri justru mengatakan, duhai alangkah senangnya karena besok saya akan menjumpai kekasih-kekasihku, Muhammad dan para sahabatnya. Bercampurlah pahitnya kematian dengan nikmatnya pertemuan itu, itulah kenikmatan iman.

2. Seorang sahabat yang kudanya dicuri pada suatu malam, saat ia sedang shalat. Ia melihat saat pencuri itu mencuri kudanya, namun ia tidak memutuskan shalatnya. Ketika ditanya tentang hal itu ia menjawab, “Apa yang sedang aku lakukan lebih besar dari itu.” Ini tidak lain karena kenikmatan iman.
3. Dua orang sahabat yang diperintahkan Rasulullah Saw. sebagai penjaga malam pada sebuah peperangan. Salah seorang tidur, sedangkan yang lain menunaikan shalat. Tiba-tiba ada mata-mata dari pihak musuh datang. Melihatnya, mata-mata itu melepaskan anak panah dan mengenainya. Namun demikian sahabat ini tetap meneruskan shalatnya dan tidak menghentikannya. Mata-mata itu melepaskan panah yang kedua dan mengenainya pula, namun ia tidak memutuskan shalatnya. Kemudian dilepaslah kepadanya anak panah yang ketiga dan mengenainya. Pada panah yang ketiga inilah ia baru membangunkan sahabatnya. Ia berkata “Kalaulah bukan karena kekhawatiranku terhadap keselamatan kaum Muslimin, tentu aku tidak menghentikan sholat-ku.” Hal itu tidak dilakukannya kecuali karena besarnya kenikmatan yang ia rasakan dalam shalat, hingga menghilangkan rasa sakit akibat anak panah yang mengenai dirinya. –


[1] Muhadats: orang yang benar dugaannya seolah-olah ada yang membisikinya.– edt.



——-
Detil referensi berupa kitab-kitab yang dijadikan rujukan khususnya yang memuat hadits-hadits dan perkataan ulama, tersedia pada buku yang berjudul: Syarah Ushul ‘Isyrin, Menyelami Samudra 20 Prinsip Hasan Al-Banna, karya Abdullah bin Qasim Al-Wasyli, Cetakan ke-2, Era Intermedia, Solo, Indonesia, 2005

Mata Hati

MATA HATI

Dua orang pemuda tampak berdiskusi di sebuah mulut gua. Sesekali, mereka memandang ke arah dalam gua yang begitu gelap. Gelap sekali! Hingga, tak satu pun benda yang tampak dari luar. Hanya irama suara serangga yang saling bersahutan. “Guru menyuruh kita masuk ke sana. Menurutmu, gimana? Siap?" ucap seorang pemuda yang membawa tas besar. Tampaknya, ia begitu siap dengan berbagai perbekalan.

"Menurut petunjuk guru, gua ini bukan sekadar gelap. Tapi, panjang dan banyak stalagnit, kelelawar, dan serangga," sahut pemuda yang hanya membawa tas kecil. Orang ini seperti punya kesiapan lain di luar perbekalan alat. "Baiklah, mari kita masuk!" ajaknya sesaat kemudian.

Tidak menyangka dengan ajakan spontan itu, pemuda bertas besar pun gagap menyiapkan senter. Ia masuk gua beberapa langkah di belakang pemuda bertas kecil. "Aneh!" ucapnya kemudian. Ia heran dengan rekannya yang masuk tanpa penerangan apa pun.

Dari mulai beriringan, perjalanan keduanya mulai berjarak. Pemuda bertas besar berjalan sangat lambat. Ia begitu asyik menyaksikan keindahan isi gua melalui senternya: kumpulan stalagnit yang terlihat berkilau karena tetesan air jernih, panorama gua yang membentuk aneka ragam bentukan unik, dan berbagai warna-warni serangga yang berterbangan karena gangguan cahaya. "Aih, indahnya!" gumamnya tak tertahan.

Keasyikan itu menghilangkannya dari sebuah kesadaran. Bahwa ia harus melewati gua itu dengan selamat dan tepat waktu. Bahkan ia tidak lagi tahu sudah di mana rekan seperjalanannya. Ia terus berpindah dari satu panorama ke panorama lain, dari satu keindahan ke keindahan lain. Ia terlena dengan keindahan di sekelilingnya.

Di ujung gua, sang guru menanyakan rahasia pemuda bertas kecil yang bisa jauh lebih dulu tiba. "Guru…," ucap sang pemuda begitu tenang. "…dalam gelap, aku tidak lagi mau mengandalkan mata zhahir. Mata batinkulah yang kuandalkan. Dari situ, aku bisa merasakan bimbingan hembusan angin ujung gua, kelembaban cabang jalan gua yang tak berujung, batu besar, dan desis ular yang tak mau diganggu," jelas sang pemuda begitu meyakinkan..”





Saudaraku,
Ada banyak "gua" dalam hidup ini.. Gua ketika seseorang kehilangan pekerjaan. Gua di saat gadis atau lajang terus-menerus tertinggal peluang berjodoh. Gua di saat orang alim menjadi sulit dipercaya. Gua ketika bencana begitu buta. Dan, berbagai "gua" lain yang kadang dalam gelapnya menyimpan seribu satu keindahan yang membuai.

Sebagian kita, suka atau tidak, harus menempuh rute jalannya yang gelap, lembab, dan penuh jebakan. Sayangnya, tidak semua kita mampu.menyiapkan bekal secara pas. Kita kadang terjebak dengan kelengkapan alat. Atau terjebak pada kelengkapan sarana atau fasilitas, juga kekayaan. Dan, melupakan bekalan lain yang jauh lebih jitu dan berdaya guna: kejernihan mata hati.

Mata hatilah yang mampu menembus pandangan di saat "gelap". Mata hatilah yang bisa membedakan antara angin tuntunan dengan tipuan tipuan. Kejernihannya pula yang bisa memantulkan ‘cahaya’ yang sejati.



Saudaraku,

Perjalanan hidup kita tak ubahnya seperti menyusuri gua yang gelap. Kalau mata hati kita belum setajam itu, maka carilah teman hidup yang punya mata hati yang jernih. Teman hidup yang memiliki bekalan kekuatan dan kematangan jiwa. Yang telah teruji istiqomah dari sekian banyak tadribat amal dan cobaan hidup serta ketekunan meraut ketajaman mata hatinya. Jadikan dia pemimpin dan penunjuk arah perjalanan kita. Semoga dengannya kita bisa menemukan jalan keluar dari gua dan selamat dari gulita dunia. Amiin ya robbal’alamin..