Senin, 11 Agustus 2008

Aktifitas Dakwah Dalam Dunia Politik

Didin Hafidhuddin

Guru Besar IPB dan Ketua Umum BAZNAS

Tugas dan kewajiban dakwah (dalam pengertian luas) adalah tanggung jawab setiap Muslim kapan dan di mana pun, apa pun posisi, jabatan, profesi dan keahliannya. Ini karena dakwah adalah sebuah pekerjaan yang akan menghantarkan ketinggian dan kekuatan umat (QS Ali Imran [3]: 110).

Dakwah ini pula akan menyebabkan kebahagiaan yang hakiki, di dunia maupun di akhirat (QS Ali Imran [3]: 104). Oleh karena itu, ketika kita menjadi pejabat, birokrat, pengusaha, politisi, kita pun harus menjadi dai, demikian pula dalam bidang-bidang lainnya. Meskipun demikian karena dakwah memerlukan pemikiran yang serius, sungguh-sungguh, dan perhatian yang penuh maka dalam implementasi dan pelaksanaannya, harus dilakukan oleh kelompok-kelompok orang dan umat, yang memang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan dakwah, baik secara lisan, tulisan, maupun juga dengan tingkah laku dan amal perbuatan.

Inilah yang difirmankan oleh Allah SWT pada QS At-Taubah [9] ayat 122, yang intinya harus ada thaifah khossoh (kelompok-kelompok khusus), yang mendalami ilmu-ilmu keislaman. Termasuk ilmu dakwah dan komunikasi untuk disampaikan kepada masyarakat.

Dakwah dan politik
Kita mengetahui bahwa politik yang dalam bahasa Arabnya as-Siyasah adalah sebuah upaya dan kegiatan yang dilakukan dengan cara-cara tertentu untuk mencapai suatu tujuan dan misi tertentu. Politik bagi kaum Muslimin merupakan suatu kebutuhan dan keniscayaan karena politik sangat berkaitan dengan semua bidang dan dimensi kehidupan.

Tanpa politik, tidak mungkin kita bisa membangun sebuah kehidupan yang baik, yang adil dan sejahtera. Hukum tidak mungkin bisa ditegakkan tanpa ada kemauan politik dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Ekonomi syariah pun tidak mungkin bisa dilaksanakan di negara kita tanpa ada kemauan politik dari semuastakeholders-nya.

Demikian pula anggaran pendidikan yang dicanangkan sebesar 20 persen dari APBN, itu juga tidak mungkin bisa dilaksanakan tanpa kemauan politik yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terlibat dalam menentukan kebijakan. Politik sebuah keharusan dan keniscayaan, dalam arti untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik dan mulia.

Tetapi dalam praktiknya, dakwah dengan politik ini adalah sebuah persinggungan, yang terkadang saling mengalahkan. Ketika dakwah yang menjadi jalan dan tujuan berlandaskan nilai-nilai kebaikan, keikhlasan, kejujuran, kebersihan, serta kebersamaan dimunculkan, maka politik akan menjadi alat dan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik dan mulia tersebut.

Politik bukanlah menjadi tujuan, tetapi alat untuk membangun sebuah kehidupan masyarakat dan negara yang bersih, adil, jujur, dan menyejahterakan masyarakat. Politik itulah yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Dengan amanah, kejujuran, serta profesionalitas yang dibangun, maka lahirlah masyarakat Madinah, yaitu masyarakat Islam yang dirasakan keindahan dan kebaikannya oleh seluruh anggota masyarakat Muslim maupun non-Muslim. Ini sejalan dengan firman Allah dalam QS Al-Anbiya' [21] ayat 107: ''Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.''

Dengan politik yang berlandaskan nilai-nilai tersebut di atas, keadilan hukum dan ekonomi tentu dapat ditegakkan, begitu pula keadilan-keadilan yang lainnya. Tetapi, apabila dakwah dan nilai-nilai Islam hanya dijadikan sebagai cover untuk diterima oleh masyarakat, sementara para politisinya bermain dengan cara-cara yang tidak baik dan kotor, tidak amanah, tidak jujur, tidak bersih, serta menghalalkan segala cara, menjadikan materi sebagai alat untuk mencapai dan mendapatkan kekuasaan maka politik akan mengalahkan dakwah.

Politik dan dakwah tidak mungkin bisa disatukan dalam kondisi yang demikian. Dakwah bertujuan memperbaiki masyarakat dari kondisi yang kurang baik menjadi kondisi yang lebih baik, sementara politik dalam pengertian negatif menghalalkan segala macam cara dengan menafikan nilai-nilai agama. Tentu bertujuan memperkaya diri, melanggengkan kekuasaan, dan mendapatkan kedudukan yang tinggi dan lain-lain. Kita berharap di era multipartai sekarang ini, di mana kaum Muslimin bercita-cita melaksanakan syariah Islam dalam semua bidang kehidupan, akan lahir politisi-politisi yang juga dai, yang ketika melakukan kegiatan politik senantiasa dibingkai oleh nilai-nilai keislaman.

Hakikat kemenangan
Harus disadari bersama bahwa kemenangan yang sesungguhnya bukanlah semata-mata ditentukan oleh berapa banyak kekuasaan dan jabatan itu bisa diraih dan dikuasai serta berapa banyak anggota yang duduk di DPR maupun di DPRD. Akan tetapi, hakikat kemenangan adalah ketika kita berpihak pada nilai-nilai keislaman tersebut walaupun secara kasat mata belum banyak kekuasaan yang dicapai dan diraih. Tetapi, ketika para dai yang politisi ini mendapatkan jabatan dan kekuasaan tersebut dengan cara-cara yang baik dan benar, maka itulah sejatinya hakikat kemenangan.

Ketika kita menghadirkan nilai-nilai alternatif, seperti nilai-nilai khianat diganti dengan nilai amanah, nilai-nilai korup diganti dengan nilai-nilai yang bersih, dan nilai-nilai asal-asalan diganti dengan nilai profesionalitas yang tinggi, maka itulah hakikat kemenangan yang sebenarnya. Kemenangan adalah ketika kita berpihak pada nilai-nilai yang bersumberkan pada ajaran Islam.

Apalagi, dalam pandangan Allah SWT kemenangan bukanlah ditentukan oleh kuantitas, tetapi justru ditentukan oleh kualitas. Perhatikan firman-Nya dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 249: ''Berapa banyak golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.''

Perang Badar yang terjadi antara kaum Muslimin dan kaum kuffar/ Quraisy yang sangat fenomenal, walaupun kaum Muslimin ketika itu sangat sedikit, sementara kaum kafir berjumlah sangat banyak, yakni tiga kali lipat dari jumlah kaum Muslimin, tetapi karena kaum Muslimin memiliki akidah yang kuat, keistiqomahan, kesatuan dan ukhuwwah yang kuat serta teruji, Allah memberikan kemenangan pada mereka.

Perhatikan firman-Nya dalam QS Ali Imran [3] ayat 123: ''Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah (sedikit jumlahnya dan perlengkapan perang yang tidak mencukupi). Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.''

Pelajaran dari Perang Uhud
Ketika kaum Muslimin melaksanakan peperangan berikutnya, yakni perang Uhud yang sangat terkenal. Pada kali pertama kaum Muslimin diberikan kemenangan oleh Allah karena semua tentara kaum Muslimin pada waktu itu memiliki kedisiplinan yang tinggi pada aturan dan ketentuan. Semuanya merasa ikhlas dan memiliki motivasi yang sama, yakni berjuang serta berjihad di jalan Allah SWT.

Akan tetapi, ketika terjadi perebutan ghanimah (rampasan perang) dan adanya tentara yang tidak disiplin pada aturan, yakni ketika pasukan pemanah ( ar-Rummah) diperintahkan untuk tetap pada posisinya dalam kondisi apa pun, tetapi karena mereka (pasukan pemanah) tergoda dengan banyaknya ghanimah yang diperebutkan oleh para tentara yang lain, mereka turun meninggalkan posisinya untuk ikut memperebutkan ghanimahtadi. Hal itu dimanfaatkan oleh musuh untuk menyerang balik pasukan kaum Muslimin.

Maka terjadilah musibah yang sangat besar yang dialami oleh kaum Muslimin. Banyak sahabat yang mati syahid. Meskipun kemudian, Allah SWT tetap menggerakkan hati kaum Muslimin untuk tetap istiqomah dalam menghadapi musuh-musuh agama.


Ikhtisar:
- Salah satu faktor yang menyebabkan runtuhnya nilai-nilai perjuangan dalam dunia politik adalah saat materi menjadi tujuan utama dan gaya serta penampilan lebih diutamakan.
- Peristiwa pada zaman Rasulullah bisa menjadi contoh bagi para politisi di Tanah Air. (-)

Selasa, 08 Juli 2008

Minggu, 06 Juli 2008

Dakwah Profesional

Ketika da’wah tidak hanya bergulir di ruang-ruang masjid, namun juga dalam berbagai lembaga profesi dan kantor yang sarat formalisme (aturan baku yang mengikat) dan kecanggihan infrastruktur. Maka persoalan metode da’wah menjadi bahan renungan sangat penting. Salah satu dari metode itu ialah membasiskan seruan dan da’wah tersebut di atas prinsip-prinsip profesionalitas. Sesuatu yang di dalam Islam sering diistilahkan dengan itqon.

Kebutuhan akan profesionalitas dalam mengajak orang ke jalan kebaikan, sesungguhnya tidak hanya monopoli bagi orang-orang kantor. Tetapi setiap pekerjaan, terlebih ajakan ke jalan kebaikan, kepada siapapun ajakan itu disampaikan, kepada siapapun seruan itu disuarakan, semuanya memerlukan pengelolaan yang profesional. Itu sudah menjadi garis jalan (sunnah) yang ditetapkan Allah. Ia bahkan telah menyatu dengan tata kehidupan alam semesta.

Seorang muslim yang bisa tampil profesional dalam lingkup tugasnya, akan punya ruang dan kesempatan lebih untuk menyampaikan ajakannya ke jalan kebaikan. Maka, dapat dikatakan, sebelum mengajak orang lain, kita sendiri harus tampil profesional pada bidang-bidang harian yang menjadi tanggung jawab kita.

Berikut ini beberapa hal mendasaryang merupakan pilarpenting profesionalitas.



1. Kesungguhan Kerja (Performance)

Dalam konteks menjalankan tugas, misalnya, memahami secara mendalam materi penugasan yang kita emban adalah hal yang sangat penting. Sehingga, paling tidak, mesti tertanam dua motivasi dalam diri kita.

Pertama, bahwa pelaksanaan tugas ini terkait dengan prinsip bahwa kita selalu diawasi Allah SWT. Kedua, bahwa tugas itu pada hakekatnya adalah sarana "perkenalan" yang efektif kepada rekan-rekan dan atasan kita. Oleh sebab itu, perlu kiranya diupayakan penambahan ide-ide baru orisinil kita dalam penyelesaian tugas-tugasyang ada. Caranya, dengan lebih mendalami tugas yang diterima dan mencari tambahan referensi lain dalam penyelesaiannya.



2. Komunikasi Kerja (Writing and Reporting Skills)

Komunikasi dan penyampaian gagasan secara tertulis merupakan satu hal yang sangat penting dalam kerja profesi. Kita perlu terbiasa mengemas penyelesaian tugas yang kita jalani dengan laporan yang rapi. Ini membutuhkan kemampuan menulis laporan dan notulensi yang baik. Selain kemampuan menulis juga bermanfaat untuk mengkomunikasikan pekerjaan dan ide kita pada forum-forum seminar ilmiah. Sehingga melalui forum-forum seperti ini kita membangun networking lintas kantor (departemen lain atau kepada pihak swasta), atau lintas disiplin.

Maka membuat daftar (database) pribadi tentang tugas-tugas yang telah kita kerjakan akan memudahkan kita memberikan laporan secara sistematis kepada atasan dan dapat dipakai untuk mengukur prestasi kerja kita pribadi. Dengan langkah ini lah kita akan terbiasa bekerja tertata.



3. Memahami Visi Lembaga (Strategic Thinking)

Untuk dapat membuat ide besar di kantor, kita mesti mengenal apa ide dan tujuan besar keberadaan lembaga kita. Ini dikenal belakangan dengan istilah visi dan misi lembaga. Untuk mengetahui hal ini, kita dapat bertanya kepada keypersons clan membaca laporan-laporan lama yang ditulis para founding fathers institusi tempat kita bekerja, seraya terus mengikuti perkembangan mutakhir yang terkait dengan fungsi strategic institusi itu.

Selain itu, perlu ditemukan posisi unik dan signifikan institusi kita di tengah konstalasi pemerintahan. Pemahaman ini akan menjadi modal bagi kita untuk: pertama, bagi pribadi, menemukan kepastian dan kebanggaan akan tempat kerja. Dan kedua, meningkatkan kemampuan dalam membangun networking.



4. Mengajukan Gagasan (Formal Communication Skills)

Perangkat lain yang juga penting dalam da’wah profesi adalah kemampuan mengajukan gagasan secara oral. Keterampilan ini dimulai dari kemampuan dan kemauan untuk mendengar. Perlu ditemukan momentum-momentum penting di mana kita dapat menyampaikan gagasan-gagasan cerdas untuk meningkatkan prestasi lembaga. Hal lain dalam kaitannya dengan pengajuan gagasan adalah kemampuan presentasi ide. Ketepatan penyampaian masalah, waktu, dan sarana yang digunakan merupakan bekal yang sangat menunjang keberhasilan presentasi.



5. Manajemen Waktu dan Tugas (Time and Tasks Management)

Dalam menerima kesibukan tugas, kita mesti pandai memilah berdasarkan tingkat prioritas. Pada saat sibuk dibutuhkan kecepatan dan ketepatan kerja. Baik sekali bila kita punya teman sejawat yang dapat bahu membahu menyelesaikan tugas-tugas yang mesti dikerjakan.

Namun ada saatnya tugas-tugas itu mesti dikerjakan sendiri. Inilah fase di mana kemampuan kita diuji secara optimum. Bahkan jika kita mampu melalui fase ini, barangkali tidak lama lagi kita akan diberikan amanah kepemimpinan (misalnya pimpinan unit kerja, kelompok kerja atau unit struktural. Kunci terpenting untuk dapat melalui fase ini adalah kemampuan memenej waktu dan tugas dengan baik. Ketekunan dan ketepatan kita masuk dan pulang pada jam kantor sangat penting.



6. Jaringan (Network Creating)

Pemahaman kita akan visi dan misi lembaga ditambah perkenalan kita dengan key persons akan membawa kita pada lingkungan dan forum-forum yang lebih luas. Jaringan komunikasi juga mesti dirintis atas dasar kemampuan individual. Salah satunya adalah dengan memasuki asosiasi profesi yang terkait dengan spesialisasi kita. Asosiasi profesi biasanya mengadakan pertemuan ilmiah atau kongres secara rutin. Forum-forum ini merupakan tempat efektif untuk memperkenalkan keahlian atau spesialisasi kita.

Ada cara lain yang sangat efektif untuk memperkenalkan diri ke masyarakat luas, yaitu dengan menyampaikan gagasan pada media massa yang dibaca oleh orang banyak. Atau dengan menggagas penelitian dan kerja lintas kantor. Intinya adalah kita membangun networking seluas mungkin.

Enam tips itqon di atas dapat dikatakan bersifat individual dalam rangka memperkenal sosok kita. Ini merupakan syarat penting sebelum kita berinteraksi dengan orang lain dan mengajak mereka ke jalan kebaikan, secara personal maupun massal. Bisa dikatakan, menjadi pribadi yang profesional adalah entry pointnya. Setelah itu, masih banyak hal yang mesti dilakukan. (wallahu’alam)

hati vs nash

Suara hati memang sangat penting. Pendapat apapun yang disampaikan orang terhadap suatu perkara, suara hati tetap harus lebih diutamakan. Karena sejatinya, dialah yang paling jernih menentukan langkah yang benar atau salah.

Ada perkataan Imam Nawawi yang menarik dalam hal ini. “Jika engkau menerima hadiah dari seorang yang hartanya lebih banyak berasal dari yang haram, dan hatimu ragu-ragu untuk memakannya karena ketidakjelasan antara halal dan haramnya makanan tersebut. Kemudian ada seorang mufti (pemberi fatwa) memberi fatwa halal dan tidak melarang memakannya, maka status syubhat dari makanan itu tetap tidak hilang dengan fatwa tersebut." Artinya, meninggalkan makanan tersebut lebih utama dan lebih menenangkan hati, ketimbang mengikuti fatwa namun membuat hati gelisah. Begitulah istimewanya hati.

Apa alasannya? Disebutkan dalam kitab Al-Wafi yang menjelaskan makna hadits Rasulullah dan keterangan Imam Nawawi itu, segala sesuatu yang membawa ketidaktenangan hati adalah dosa, meskipun ada fatwa yang menyebutkannya bukan dosa. Karena para mufti mengeluarkan fatwa berdasarkan masalah yang tampak, bukan masalah yang bersifat batin. Batin seseorang – yang mendapatkan cahaya Allah dalam hatinya – lebih diketahui oleh dirinya sendiri, bukan orang lain. (41-Wafi, 195)

Namun perlu diingat, bahwa penjelasan di atas tidak berarti bahwa apapun suara hati harus dituruti. Tidak selamanya ungkapan hati menjadi pembenaran atas segala perkara. Hati bisa dimintakan fatwa dalam permasalahan yang bersifat umum dan mungkin tidak dijelaskan secara detail perbedaan dan batasannya dalam nash-nash al-Qur’an dan sunnah. Dengan kata lain, suara hati tidak boleh mengalahkan petunjuk dalil yang jelas tertera dalam Al-Qur‘an dan sunnah. Misalnya saja dalam kasus bolehnya berbuka puasa bagi musafir dan orang yang sakit, bolehnya mengqasar – memperpendek jumlah raka’at – shalat dalam perjalanan, dan sebagainya, yang berdiri di atas dalil syar’i yang jelas. “Bila ada fatwa yang jelas berlandaskan dalil syar’i maka wajib setiap muslim untuk mengutamakannya, meskipun hal itu tidak membuat hatinya puas," demikian dijelaskan dalam AI-Wafi.

Allah swt berfirman, "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu pikirkan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. An-Nisa: 65)

Ketundukan dan ketaatan menerima ketentuan Allah yang telah jelas, tetap mendapat kedudukan lebih tinggi dari sekedar fatwa hati. Di sini, hatilah yang justeru harus tunduk pada tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sama halnya ketika Rasulullah saw meminta para sahabat mencukur rambut dan memotong hewan kurban setelah perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu, sebagian sahabat berhenti dan enggan melakukan perintah Rasul. Tapi, berkat keikhlasan dan kebersihan hati mereka juga, akhirnya para sahabat menerima perintah Rasulullah dengan lapang dada. Allah berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36). Wallahu a’lam bishawab.

jadilah Diri Sendiri

Ilmu genetika mengajarkan bahwa Anda adalah Anda sendiri, sebagai hasil dari 24 kromosom yang di curakan ayah Anda dan 24 kromosom lagi oleh ibu Anda. Ke-48 kromosom tersebut berisi segala sesuatu yang menentukan warisan siapakah Anda sebenar-nya. Amran Scheinfeld dalam bukunya, You and Heredity, mengatakan, "Dalam setiap kromosom itu terdapat ratusan gene dan dalam kasus tertentu, sebuah gen akan mampu mengubah kehidupan seseorang.”

Kita ini diciptakan dengan sangat mengesankan dan menakjubkan. Setelah ibu dan ayah bertemu dan melakukan pembuahan, hanya ada satu kemungkinan dari 300.000.000.000 yang lahir. Dan, itulah Anda. Dengan kata lain bila Anda mempunyai saudara kandung sebanyak 300.000.000.000, maka tak seorang pun yang sama persis dengan Anda. Amran melanjutkan, “Anda adalah diri sendiri di dunia ini."

Sementara Dale Carnegie mengatakan, "Anda adalah sesuatu yang baru di dunia ini. Tak pernah terjadi sebelumnya, sejak dunia ini diciptakan, seseorang yang benar-benar sama dan sempurna dengan Anda, dan sampai dunia akhirnya nanti berhenti, tak akan lahir lagi seseorang yang sama dengan Anda.”

Dalam Islam, konsep ‘kesendirian’ merupakan acuan utama dari perintah untuk beramal. Artinya, manusia harus memperbanyak amalnya karena kelak ia akan dihisab secara sendiri-sendiri. Orang lain tidak bisa memberi manfaat, hanya amalnya yang menentukan. Memang, kita perlu bekerja sama dengan orang lain, tapi itu hanya alat bantu saja dan bukan alat untuk melimpahkan dosa atau mengurangi tanggung jawab pribadi.

Itu pula isyarat nyata dari Allah, bahwa syetan sekalipun yang hobinya menjerumuskan manusia, kelak tak akan mau bertanggung jawab. “Seperti (bujukan) syetan ketika dia berkata kepada manusia, “Kafirlah kamu,” Maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya kau takut kepada Allah, Tuhan semesta alam.”(QS. Al-Hasyr: 16). Lalu bagaimana akibatnya, “Maka adalah kesudahannya, bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Hasyr: 17).

Semangat menjadi diri sendiri bukan berarti menafikkan keteladanan. Tapi meneladani orang lain tak berarti Anda memindahkan kepribadian orang lain tersebut pada cetakan kepribadian Anda. Sesungguhnya apabila seseorang keluar dari pembawaan wataknya, dan memisahkan dirinya dari tabiat akal dan jiwanya yang tidak ada penyimpangan di dalamnya, merupakan suatu perkara yang akan merusak kehidupan orang tersebut dan menimbulkan goncangan-goncangan dalam tingkah lakunya. Anda mungkin sudah mendengar tentang kisah seekor gagak yang tertarik untuk berjalan di atas tanah, akibatnya ia tidak dapat melangkah sebagaimana yang ia inginkan, dan tidak dapat terbang sebagaimana ia diciptakan.

Sesungguhnya sangat sulit sekali bagi manusia walau bagaimana pun ia berusaha, untuk menjadi yang lain dari dirinya. Dale Carnegie mengisahkan, “Saya bertanya kepada direktur Socony Vacuum Oil Company tentang kesalahan paling besar yang dilakukan oleh orang-orang yang melamar pekerjaan." Ia menjawab, “Kesalahan yang paling besar dari pelamar pekerjaan adalah mereka tidak mau menjadi diri mereka sendiri. Bukannya mereka mengemukakan ide-ide mereka dengan jujur, tetapi kadangkala malahan mencoba memberikan jawaban yang menurut perkiraan mereka kita inginkan. Tentu saja mereka gagal, karena tak seorang pun yang ingin mempunyai karyawan yang tidak jujur dan palsu."

Menjadi diri sendiri artinya kita mengoptimalkan segala potensi diri yang dikaruniakan Allah kepada kita. Bahkan dalam potensi-potensi itu ada berbagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Allah SWT berfirman, ”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Qs. Fushilat: 53).

William James, seorang ahli juga, pernah mengatakan bahwa, “Seandainya kita mengukur diri kita dengan apa yang seharusnya kita berkembang menurut pembawaan kita, maka akan jelaslah bagi kita bahwa kita ini hanya setengah sadar. Atau dengan kata lain, kita hanya menggunakan sebagian kecil dari sumber-sumber kemampuan fisik dan mental kita. Sebenarnya banyak kekuatan lain yang bermacam-macam yang kita miliki, namun kita tak menyadarinya. Masih banyak bermacam-macam kemampuan yang gagal kita manfaatkan."

Dalam tradisi interaksi antara Rasulullah dengan para sahabat, sering kita dapati Rasulullah sengaja memancing kemandirian para sahabat untuk mengemukakan pendapat. Tentunya hanya untuk hal-hal yang belum turun wahyu. Seperti yang terjadi tatkala beliau bermusyawarah dengan para sahabat tentang tawanan perang Badr, maka para sahabat mengemukakan pendapatnya masing-masing sesuai dengan apa yang dianggap benar.

Abu Bakar misalnya, mengemukakan agar tawanan itu diampuni, Rasulullah SAW. Abu Bakar beliau samakan dengan Nabi Ibrahim AS, yang berkata mengenai kaumnya, “Maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barang siapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ibrahim:36)

Sementara Umar, beliau serupakan dengan Nabi Nuh AS, yang telah berkata mengenai kaum-nya, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” (Qs. Nuh: 26-27).

Sangat tampak dalam kisah di atas bahwa kedua sahabat tersebut masing-masing mengemukakan pendapat yang mereka anggap benar, sebagaimana ditunjukan oleh pikirannya yang bebas dan perbedaannya yang khusus dalam memecahkan masalah. Itulah kemandirian. Kemandirian itu bahkan bermuara kepada fitrah manusia yang bersih. Yang tidak mau menjilat-jilat dan mendustai nuraninya sendiri. “(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu…” (Qs. Ar-Ruum: 30)

Yakinlah bahwa iri hati adalah kebodohan. Dan, kepalsuan itu adalah bunuh diri. Mestinya orang rela dan bersyukur atas apa yang dimilikinya sebagaimana Allah telah menentukan baginya. Di atas hamparan dunia yang luas dan begitu subur ini, tak akan ada biji jagung yang tumbuh baik tanpa ditanam dan dipelihara dengan baik pula. Kekuatan yang ada pada seseorang adalah sesuatu yang baru, alamiah dan tak seorang lain pun yang tahu apa yang dapat dilakukannya. Dan, si empunya tak akan menyadari sebelum ia mencobanya.

Semua potensi itu bisa diasah, dengan berbagai macam cara yang terus berkembang, dari model pelatihan hingga disiplin ilmu yang sudah permanen, dari berguru hingga belajar sendiri. Maka, tunggu apalagi. Segera kenali diri, gali potensi, dan jadilah diri kita sendiri yang jujur dan berani bertanggung jawab. Wallahu’alam